Selasa, 10 November 2015

Pemikiran Politik Montesquieu



BAB I
PENDAHULUAN
1.1             Latar Belakang
Di era pencerahan ini banyak sekali tatanan kehidupan yang tak terlepas dari pemikiran-pemikiran para pemikir era pencerahan, dalam kehidupan berwarganegara misalnya. Terdapat macam-macam bentuk negara yang ada di belahan dunia ini. Seperti republik, monarki, dan despotis. Republik dapat berupa demokrasi atau aristokrasi, dikatakan demokrasi apabila kedaulatan diserahkan kepada semua lembaga kerakyatan, sedangkan aristokrasi apabila kekuasaan tertinggi hanya diserahkan kepada sebagian anggota masyarakat. Monarki adalah pemerintah konstitusional oleh satu orang. Despotisme adalah kekuasaan yang sewenang-wenang oleh satu orang.
Indonesia adalah negara yang menganut bentuk republik, dalam pemerintahannya Indonesia menggunakan sistem demokrasi untuk acuan dalam menjalankan pemerintahannya. Berbicara mengenai demokrasi maka tak dapat dipisahkan dengan pembagian kekuasaan di dalamnya dan konstitusi atau hukum dasar negara yang dibuat guna membatasi kekuasaan pemerintah agar tidak berbuat sewenang-wenang. Pembagian kekuasaan ini terdiri atas tiga macam kekuasaan: Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.
Ketiga pembagian kekuasaan itu dinamakan sebagai Trias Politica. Seperti apa yang sudah digambarkan diatas, bahwa Trias Politica adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan (functions) ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa dengan harapan hak-hak asasi warga negara lebih terjamin. Doktrin-doktrin ini dikemukakan oleh filsuf prancis yang bernama Montesquieu. Maka dengan demikian, pemakalah ingin menjelaskan dan lebih memperdalam mengenai pemikiran-pemikiran politik dan hukum  montesquieu yang  berpengaruh dalam hidup ketatanegaraan sampai seperti apa yang diterapkan di negara-negara belahan dunia sekarang ini.

1.2             Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah dan biografi Montesquieu?
2.      Apa pemikiran-pemikiran politik dan hukum Montesquieu?
3.      Apa saja isi karya-karya Montesquieu?

1.3             Tujuan
1.      Mengetahui sejarah dan biografi lengkap Montesquieu
2.      Mengetahui hasil dari pemikiran-pemikiran Montesquieu
3.      Mengetahui karya-karya hasil Montesquieu

1.4             Manfaat Penulisan
1.      Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada semua pembaca untuk menambah pengetahuan atau wawasan mengenai pemikiran politik Montesquieu, terutama mengenai teori pembagian kekuasaan. Sehingga nantinya akan dapat mengetahui seberapa penting kontribusi pemikiran Montesquieu dalam sejarah perpilitikan dunia.























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Montesquieu

Montesquieu memiliki nama asli Charles Louis de Secondat Baron de Montesquieu. Ia lahir pada tanggal 18 Januari 1689 di Chateau de la Brede, sebelah selatan dari kota Bordeaux, Prancis. Ia dilahirkan dari keluarga kaya kelas ningrat (petite noblesse), ibunya wafat ketika ia masih berusia 7 tahun. Ayahnya meninggal ketika ia berusia 24 tahun. Kemudian ia diasuh oleh pamanya, Jean Bastiste de Secondat, seorang pastor yang kaya dan terhormat. Ia mendalami hukum dan pernah menjadi praktisi hukum di pengadilan.[1]

Pendidikan formal menengah ditempuh Montesquieu pada College of Juilly, Paris. Berkat adanya fasilitas yang bagus dan kehidupan yang berkecukupan serta keseriusan yang matang, akhirnya ia berhasil memasuki Akademi Prancis lalu ia melanjutkan studi hukum pada Universitas Bordeaux. Seusai meraih derajat sarjana, Montesquieu mengikuti ujian lisensi untuk menjalankan praktik hukum, dan memulai merintis karir sebagai penasihat, pengacara dan kemudian ketua parlemen Guyenne. Akan tetapi minatnya pada ilmu pengetahuan dan institusi politik segera mengarahkan aktivitasnya untuk menulis. Ia meninggalkan profesi dan jabatan sebelumnya karena dianggap membosankan. Tepat pada tahun 1716, Montesquieu diterima menjadi anggota Academie des Sciences di Bordeaux dan kemudian membuatnya makin rajin dalam menekuni ilmu-ilmu secara otodidak.[2]

Montesquieu adalah pemikir politik Prancis yang hidup pada Era Pencerahan. Ia dilahirkan sebagia seorang pemikir yang seakan ditakdirkan Tuhan untuk membaca dan menulis sepanjang hidupnya, karena sebagian hidupnya dihabiskan hanya untuk kegiatan intelektual. Demikian banyaknya ia membaca sampai mengalami kebutaan di akhir hidupnya. Montesquieu dikenal dalam literatur barat tidak hanya sebagai pemikir dan filosof politik. Raymon Aron mengkategorikannya sebagai sosiolog mendahului Auguste Comte yang memperoleh julukan ‘Bapak Sosiologi Modern’ (Father of Modern Sociology). Auguste Comte juga menyebut Montesquieu sebagai pemuka golongan empiris di Eropa Barat.[3]

Kesukaan Montesquieu adalah melakukan perjalanan dan kunjungan ke berbagai negara. Mengembara merupakan obsesi sepanjang hidupnya. Ia pernah mengunjungi Jerman, Austria, Italia, Switzerland, Belanda, Inggris serta Persia. Kunjungan ke berbagai negara itu memiliki makna penting, tidak hanya bagi hidupnya melainkan juga karya-karyanya di kemudian hari. Pengalaman-pengalamanya selama mengunjungi negara-negara itu memberikan inspirasi, cerita, data, dan fakta bagi tulisan-tulisannya. Pemikir ini juga mengagumi karya-karya pemikir Yunani dan Romawi kuno seperti Polybus, Levy, Thucydides, Aristoteles maupun Machiavelli. Pengaruh mereka terlefleksi dalam karya-karyanya. Ia mulai mengarang sejak usia 30 tahun. Ketekunannya dalam menulis, Gaya penulisannya yang cemerlang, pemikirannya yang imajinatif dan keberanian mengungkapkan pernyataan-pernyataan hipotetis serta asumsi teoritis menjadikannya sebagai seorang penulis yang andal.[4]

Di samping kelebihan-kelebihannya, Montesquieu juga memiliki kelemahan-kelemahan. Seperti apa yang dikemukakan oleh John Plamenatz. Ia dinilai kurang kritis. Data, cerita atau fakta yang kurang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis tetap diterima sebagai bahan penulisan karyanya tanpa menguji apakah data tersebut fakta sesungguhnya, otentik  ataukah fiktif. Misalnya cerita-cerita Levy mengenai sejarah Romawi kuno, analisa Chardin tentang persia kontemporer dan Halde mengenai kehidupan di Cina. Akhirnya, Charles-Louis de Secondat Baron de la Brede et de Montesquieu wafat pada 10 februari 1755 di Paris, Prancis. [5]

B.    Pemikiran-Pemikiran Montesquieu
Montesquieu lebih dikenal dengan pemikirannya tentang pemisah kekuasaan. Pemikirannya ini tertuang dalam karyanya yang berjudul Spirit of Law, karyanya ini menjadi inti dari pemikiran sosial dan politiknya dalam membahas segala hal, mulai dari politik, hukum, dan ekonomi analisis sampai gosip dan anekdot-anekdot murahan pada masa itu. Prinsip-prinsip yang mempunyai signifikansi khusus pada perkembangan pemikiran politik sekarang ini muncul dari karya Montesquieu, Spirit of Law. Prinsip pertama mengacu pada peran lingkungan dan keadaan dalam membentuk hukum dalam masyarakat; prinsip kedua pada hubungan antara norma dan relativitas dalam hukum dan masyarakat; dan prinsip ketiga terletak pada doktrin pemisahan kekuasaan sebagai upaya preventif menghadapi despotisme.
Pandangan Montesquieu mengenai sebuah hukum seringkali disandingkan dengan lingkungan, sejarah, geografi, dan iklim dimana orang-orang tinggal. Tidak ada aturan hukum yang pasti dan tidak ada bentuk pemerintahan yang berlaku bagi semua masyarakat. Rekonsiliasi antara otoritas publik dan hak pribadi, masalah pokok dari filsafat politik bukanlah pemecahan yang bisa diterapkan secara universal. Pemecahan ini harus dilakukan dengan cara yang berbeda dalam lingkungan budaya yang berbeda; ia tergantung pada konfigurasi waktu, ruang, dan tradisi. Oleh karenanya, bentuk pemerintahan yang paling tepat menurut pandangannya ialah pemerintahan yang paling sesuai dengan karakter orang-orang yang untuk mereka pemerintahan tersebut didirikan. Karena berbagai kekuatan alam seperti iklim dan tanah memengaruhi perilaku manusia, hukum dan institusi sosial haruslah “bersifat relatif dengan iklim masing-masing negara, dengan kualitas tanah, dengan situasi dan keadaan sekitarnya, dengan status sosial orang-orang pribumi, apakah sebagai suami, pemburu, atau pengembala binatang... dengan agama penduduk, dengan pekerjaan mereka, kekayaan, jumlah, perdagangan, kebiasaan dan adat istiadat.” Iklim yang dingin membantu tumbuhnya tindakan yang giat, ketenangan, dan pemilikan diri, sementara iklim panas menimbulkan kemalasan, hasrat, dan emosi.[6]

Dalam klasifikasi pemerintah, Montesquieu membaginya ke dalam tiga bagian, yakni republik, monarki, dan despotik. Republik dapat berupa demokrasi, ketika kedaulatan diserahkan kepada semua lembaga kerakyatan, atau aristokrasi, ketika kekuasaan tertinggi hanya diserahkan sebagian anggota masyarakat. Monarki adalah pemerintah konstitusional oleh satu orang, sedangkan despotisme adalah kekuasaan yang sewenaang-wenang oleh satu orang. Monarki juga memerlukan keberadaan aristokrasi atau beberapa kekuasaan perantara yang berdiri diantara penguasa dan rakyat dan bertindak sebagai penengah. Despotisme tidak mentolerir intervensi semacam ini; pedang penguasa yang diacungkan menjadi aturan dan pedomannya. Karena tidak dibatasi hukum, seorang tiran berkuasa menurut kehendak dan nafsunya sendiri.[7]

Montesquieu menyatakan bahwa tidak ada bentuk pemerintahan yang bisa dipahami tanpa apresiasi yang benar terhadap prinsip-prinsipnya atau kekuatan pengggeraknya. Jadi sebuah republik, apakah dijalankan oleh beberapa orang atau banyak orang, tergantung pada civic virtue (nilai kebajikan warga negara) dan spirit publik dari rakyat, kesediaan untuk menundukan kepentingan diri sendiri demi kebaikan umum, jiwa patriotisme, kejujuran, kesederhanaan, dan persamaan.[8]

Mengenai konsep kebebasan, Montesquieu tetap mempertahankan pendekatan empiris. Motesquieu tidak memulai perhatiannya dengan mengajukan konsep-konsep umum yang abstrak. Menurutnya, kebebasan berakar dalam tanah. Maksud dari berakar dalam tanah ini adalah bahwa kebebasan lebih mudah dipertahankan dengan dua prasyarat pokok, yaitu keadaan geografis negara dan ketentraman yang timbul dari keamanan. Prasyarat kedua menghendaki perundang-undangan menetapkan batas-batas kekuasaan negara serta adanya jaminan hak-hak individu di dalam hukum. Montesquieu mendefinisikan hukum sebagai rasio manusia yang mengatur semua penduduk bimi: hukum politik dan sipil setiap bangsa seharusnya hanya merupakan kasus-kasus partikular sebagai buah dari proses akal manusia dan harus disesuaikan dengan orang-orang yang untuk merekalah hukum-hukum tersebut dikerangkakan. Hukum memiliki perbedaan sesuai dengan tempat dan waktu hukum itu berlaku. Perbedaan tempat dan masa ini menyebabkan adanya perbedaan kebiasaan dan adat istiadat. Pengaruh iklim, alam lingkungan sekitar dan sebagainya juga menjadi penyebab perbedaan hukum. Oleh karnanya, terdapat perbedaan hukum dan sifat-sifat pemerintahan di tiap-tiap negara. Ia juga berpendapat bahwa keadailan merupakan suatu pengertian yang telah ada terlebih dahulu sebelum adanya hukum positif. Oleh sebab itu dalam suatu masyarakat, manusia harus menyesuaikan diri dengan keadailan. Hukum posistif yang sesuai dengan keadailan itu adalah hukum yang benar.[9]

C.     Karya-karya Montesquie
Semasa hidupnya, Montesquieu banyak sekali menulis dan berkarya. Dari sekian banyak karyanya, terdapat tiga karyanya yang lebih menonjol dan sangat monumental. Ketiga karya tersebut adalah Lettres Persanes (1721), Considerations surles causes de la grandeur des Romains et de leur decadence (1734), dan De L’Esprit des Lois (1748).
a.      Lettres Persanes
Lettres Persanes (Surat-surat Persia) merupakan karya sastra yang mengungkap kabiasaan hidup, tata pergaulan orang paris sehari-hari, serta situasi politik dan agama di Prancis. Penyajiannya penuh ejekan dan sindiran, dilatarbelakangi kekhasan Persia sebagai wakil dunia timur. Karya ini juga merupakan salah satu contoh penting terpengaruhinya pengarang Prancis oleh gerakan Pencerahan yang luas itu dan berkembang menjadi lebih radikal dari pada di Inggris.  Karya ini juga merefleksikan pengalaman Montesquieu ketika mengunjungi negara-negara tetangganya khususnya Persia. Maksud penulisan karya ini adalah sebagai cermin diri, kritik dan semangat untuk mengubah diri kepada rakyat dan penguasa Prancis di zamannya. Montesquieu berani mengkritik kebijakan pemerintahan negara yang acapkali dipaksakan, untuk sebaliknya mengunggulkan kebajikan yang timbul dari inisiatif diri manusia sendiri. Kesemuanya itu tergambarkan dengan terjadinya kemerosotan ahklak orang-orang Eropa.[10]

The Persian Letters atau Lettres Persanes ini diterbitkan anonim (tanpa nama pengarang) pada tahun 1721 di Amsterdam, Belanda. Dengan tidak dicantumkannya nama penulis dalam karya ini bertujuan untuk menghindari dari kemungkinan pembredelan atau bahkan ancaman hukuman keras dari kekuasaan despotisme Prancis terkait dengan isi di dalamnya. Surat-surat Persia merefleksikan kelanjutan semangat Abad Pencerahan yang memadukan rasionalisme Descartes, empirisme Locke  dan skeptisme Pierre Bayle. Walaupun karya ini lebih cocok disebut karya satire atau novel yang sepenuhnya fiktif belaka. Isinya tidaklah sesederhana seperti banyak terdapat dalam karya sejenis. Surat-surat Persia ditulis Montesquieu berdasarkan pengamatannya yang jeli terhadap kehidupan sosial sehari-hari rakyat, pemuka agama dan penguasa negrinya. Karya ini juga berisikan pemikiran serius mengenai politik , sosiologi, sejarah dan agama.  Meskipun yang lebih menonjol hanyalah kritikan-kritikan pedas saja.[11]

Dalam Surat-surat orang Persia ini, Montesquieu menggunakan dua tokoh orang Persia yang saling mengirim pesan sesamanya. Kedua tokoh tersebut ia namakan, Usbek dan Rica. Melalui kedua tokoh inilah Montesquieu mengemukakan tujuan dituliskannya karya ini. Usbek adalah nama suku dari Usbekistan yang dilukiskan watak dan kepribadiannya oleh Montesquieu sebagai Muslim ortodoks yang taat melaksanakan kegiatan ritual aneh seperti yang dilakukan oleh orang-orang Kristen. Usbek cerdas dan memiliki motivasi kuat mencari pengalaman dan pengetahuan di negeri asing.[12] Tapi ia seorang despotik yang memiliki banyak harem (istri-istri simpanan) di belakang rumahnya. Dengan harem-harem itulah ia memuaskan nafsu birahinya selama hidup di Persia. Sedangkan Rica adalah sahabat Usbek yang dilukiskan sebagai seorang periang, pandai membuat sketsa watak tokoh-tokoh tertentu, berusia lebih muda dari Usbek, tidak memiliki harem, humoris serta sangat menyukai suatu pengalaman yang baru.[13]

Montesquieu dengan bebas dan leluasa mengkritik, menyindir, mencemooh tajam Raja dan Gereja dengan berpura-pura seolah-olah pengunjung dari Persia itu yang dapat menulis dan berpendapat demikian. Montesquie menyindir dan mengkritik Raja Prancis saat itu, Louis XIV. Raja ini ia juluki sebagai ‘tukang sulap’ yang telah menyebabkan terjadinya pembodohan rakyat, pembantaian massal dan peristiwa-peristiwa berdarah lainnya. Dalam suratnya, Rica menulis bahwa kaisar Prancis adalah seorang penguasa yang sangat congkak. Ia tidak memiliki tambang emas seperti raja Spanyol, tetapi kekayaannya melebihi raja Spanyol. Kekayaannya itu bersumber dari kecongkakannya kepada rakyatnya dengan cara menjual gelar-gelar kebangsawanan dengan harga mahal atau menipu rakyatnya dengan mengatakan bahwa satu keping uang sama nilainya dengan dua, atau mengatakan bahwa secarik kertas sama dengan dua.  Melalui watak Usbek, Montesquieu menentang segala bentuk despotisme. Termasuk konsep despotisme yang tercerahkan. Ia mengkritik despotisme jenis ini mengandung cacat teoritis. Bagi dirinya apa pun bentuk despotisme, tetap akan selalu menindas rasionalitas dan kebebasan berfikir dan menyebabkan terjadinya penindasan manusia yang membinasakan.[14]

b.      Considerations surles causes de la grandeur des Romains et de leur decadence

Karya ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1734 di Amsterdam, Belanda. Sebagaimana karya-karya sebelumnya, karya ini terbit tanpa nama, yang kemudian direvisi pada edisi 1748. Karya ini merupakan salah satu karya-karya pertama dari semua usaha untuk memahami setiap jengkal sejarah romawi. Karya ini dianggap mengandung sindirian pada rezim yang berkuasa serta otoritas gereja di Prancis, karena memaparkan secara historis penyebab utama kemerosotan bangsa di masa Romawi tak lain ialah pemimpin-pemimpin negara dan gereja. Atas karya ini, para sarjana kontemporer menganggap Montesquieu sebagai pelopor aliran dan metode historis  di Eropa. Sebagian karya ini menggunakan kerangka historis, dimulai dengan asal mula Romawi dan diakhiri dengan keruntuhannya. Keterangan yang terdapat pada judulnya mengindikasikan bahwa Montesquieu kurang tertarik untuk memaparkan sejarah umum Romawi, atau bahkan juga sejarah kejayaan dan keruntuhannya, tetapi lebih difokuskan pada penjelasan tentang sebab-sebab dari kejayaan dan keruntuhan itu.[15]

The Considerations on the Causes of the Grandeur and Decadence of the Romans ditulis Montesquieu berdasarkan data dan sumber penulisan pada karya Levy, Polybius, Thucydides dan dipengaruhi Machiavelli. Menurut Plamenatz, karya ini memiliki cacat-cacat akademis, sehingga tak banyak populer dan dikagumi oleh banyak orang, apalagi kaum cendikiawan. Dari sedikit cendikiawan yang mengagumi karya Montesquieu ini adalah Edward Gibbon, penulis buku monumental Decline and Fall of the Roman Empire.[16] Jikalau Gibbon mefokuskan kajiannya pada kejatuhan Romawi, sedangkan Montesquieu pada kebangkitan, kebesaran dan sekaligus kejatuhan imperium Romawai. Ia menjelaskan bahwa hakikat Roma, ibu kota pemerintahan imperium Romawi, menurutnya Roma bukanlah sebuah kota dalam pengertian modern sekarang, melainkan sebagai sebuah tempat pertemuan umum. Di dalamnya orang-orang berkumpul dan membicarakan berbagai persoalan sosial kemsyarakatan secara bebas. Tidak begitu jelas siapa yang diperintah dan siapa yang memerintah. Dengan demikian, Roma tidak dapat dijadikan sebagai sebuah model pemerintahan.
Kejayaan Romawi mengandung beberapa sebab diantaranya: kebajikan masyarakatnya, sistem konsul, kebijakan senat, kekuasaan rakyat yang terbatas, konsentrasi perang, kemenangan-kemenangan, pembagian harta rampasan, pembagian tanah yang merata, censorship (pemeriksaan), pembagian kekuasaan politik, dan dukungan senat terhadap militer dan terhadap politik luar negeri.
Sedangkan kemunduran Romawi antara lain disebabkan oleh merosotnya kerjasama antara rakyat dan militer, kesenjangan ekonomi dan kekuasaan, hilangnya identitas kewarganegaraan rakyat Romawi, yang kesemuanya membuat Republik tidak mungkin dapat dipertahankan. Montesquieu juga mencurahkan perhatiannya pada perkembangan paham atheisme, materialisme, dan hedonisme yang menyebabkan hancurnya moral, agama, patriotisme dan kebajikan masyarakat Romawi. Kehancuran moral itu seperti kekejaman, kebiadaban dan kebrutalan para jendral militer atau kaisar telah membuat rakyatnya tertindas.[17]
c.       De L’Esprit des Lois
De L’Espirit des Lois (Spirit of Law) merupakan karya terbesar Montesquieu yang berisi ajaran mengenai sistem-sistem pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip yang dikandungnya dan ajaran pemisahan kekuasaan-kekuasaan negara.  Menurutnya, sistem-sistem pemerintahan dapat dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu pemerintahan pemerintahan republik (baik demokrasi maupun aristokrasi), pemerintahan monarkis, dan pemerintahan despotis. Karya terbesar Montesquieu ini terdiri dari tiga puluh satu buku yang diterbitkan pertama kali di Geneva pada tahun 1748. Dalam kata pengantar dan buku pertama, setidaknya Montesquieu memiliki dua sasaran. Sasaran pertama untuk memahami perbedaan hukum manusia dan hukum dalam kehidupan secara umum. Yang kedua, untuk memberi sumbangsih dasar bagi terbentuknya pemerintahan yang bijaksana di setiap tempat. Buku ini terbagi ke dalam enam bagian. Bagian pertama, berisiskan tentang hukum pada umumnya dan bentuk-bentuk pemerintahan. Kedua, membahas mengenai pengaturan militer, pajak dan sebagainya. Ketiga, membahas alam atau iklim. Keempat, membahas mengenai masalah perekonomian. Kelima, membahas agama; dan keenam atau bagian akhir, merupakan suplemen yang berisi uraian tentang hukum Romawi, hukum Prancis dan Feodalisme.[18]
Seperti apa yang sudah dipaparkan di atas, Montesquieu mengklasifikasikan bentuk-bentuk negara ke dalam tiga bagian, pertama republik, republik merupakan bentuk negara yang terbaik. Negara republik diperintah oleh rakyat banyak. Rakyat yang memegang kedaulatan dan memberikan mandat serta legitimasi kepada orang-orang yang dipercaya untuk memerintah negara. pemimpin-pemimpin negara merupakan pilihan rakyat berdasarkan prinsip kebajikan. Maka pemimpin-pemimpin itu mengakui kebebasan politik rakyat dan tunduk kepada konstitusi. Hukum berada di atas siapa pun. Apabila rakyat tidak mampu mematuhi hukum undang-undang yang pada dasarnya penjelmaan kebiasaan rakyat itu sendiri, maka lambat laun negara akan mengalami kemunduran. Menurut Montesquieu hancurnya negara repubik disebabkan oleh timbulnya semangat yang ekstrem dan juga karena kekeliruan dalam memahami makna kebebasan. Kebebasan membuat orang tidak hormat lagi kepada orang yang lebih tua, orang tua, suami.[19] Republik dapat berupa demokrasi apabila kedaulatan diserahkan kepada semua lembaga kerakyatan, atau dapat berupa aristokrasi apabila kekuasaan tertinggi hanya diserahkan kepada sebagaian anggota masyarakat.[20]
Monarki adalah bentuk pemerintahan yang konstitusional yang diperintah oleh satu orang berdasararkan asal usul keturunan (misalnya raja, ratu, kaisar). Satu orang pemimpin negara berkuasa berdasarkan prinsip honneur atau kehormatan. Dalam perkembangan suatu negara, dapat terjadi pelimpahan wewenang dan tanggung jawab satu orang kepada orang-orang tertentu berdasarkan prinsip tadi. Pemerintahan monarki ini kadang-kadang dikenali sebagai pemerintahan aristokratik, yaitu dimana pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok orang yang berasal dari golongan aristokrasi dengan berlandaskan undang-undang sebagai pedoman dalam menjalankan pemerintahan. Monarki terletak pada faktor yang menimbulkan rasa hormat atau persaingan karena perbedaan di antara hirarki sosial, masing-masing kelas ingin menjaga kedudukan dan hak-hak istimewanya. Berdasarkan prinsip rasa hormat ini, negara monarki menciptakan diskriminasi dan kesenjangan posisi di antara manusia. Jadi, tidak semua manusia sama. Ada sebagian manusia lebih terhormat dari manusia lainnya. Menurut prinsip ini, hal tersebut merupakan hal yang wajar atau bersifat alamiah. Secara alamiah manusia memang berbeda.[21]
Kehancuran negara monarki menurut Montesquieu, sama seperti negara republik, yaitu karena rusaknya prinsip-prinsip kenegaraannya. Aristokrasi rusak apabila semua bangsawan menjadi sewenang-wenang, hukum yang seharusnya mengatur mereka tidak berfungsi karena (kekuasaan) mereka berada di atas hukum. Mengambil pelajaran dari kejatuhan dinasti Tsiin dan Soui, Montesquieu mengatakan sebab kehancuran monarki adalah karena para pengeran ingin mengatur diri mereka sendiri dari segala sesuatu, dan mengatur sesuatu yang berada diluar kekuasaannya. Kerusakan monarki juga terjadi akibat penguasa yang melakukan perubahan-perubahan tradisi yang telah mapan dan para penguasa memiliki sifat egosentrisme yang kuat; dengan mengarahkan segala sesuatu sepenuhnya kepada diri sendiri. Montesquieu juga menggingatkan bahwa monarki akan dapat menjadi sebuah negara despotis, meskipun penguasanya lebih dari satu orang, apabila penguasanya berkuasa mutlak dan melakukan penyelewengan kekuasan. [22]
Negara despotis adalah negara yang diperintah oleh seorang raja tanpa berlandaaskan undang-undang atau aturan tertulis yang berkepastian. Hukum yang berlaku disesuaikan dengan kehendak pribadi sang raja dan cenderung represif. Satu orang pemimpin negara berkuasa berdasarkan prinsip ketakutan, ambisi kepicikan ingin kaya tanpa usaha, suka akan pujian yang berlebihan. Pemerintahan kediktatoran ini mengkonsepkan para bawahan tanpa kecuali berada dalam suasana pengabdian pada raja, sedangkan rakyat diperlakuakan sebagai budak-budak tanpa ada secuil hak. Negara ini memiliki ciri-ciri yang mirip dengan yang dimiliki negar Leiviatahan, negara model Hobbes. Negara merupakan lembaga politik yang ganas, menakutkan dan bisa bertindak menurut kehendaknya sendiri. Menurut Montesquieu, agama menjadi faktor yang diperhitungkan oleh penguasa negara despotis yang membuatnya harus berhati-hati bila melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Montesquieu menyebutkan penyebab utama kehancuran negara despotis adalah ketidaksempurnaan hakikat maupun prinsip despotis yang mendasarkan kekuasaannya pada satu orang dan kekuasaan sewenang-wenang. Negara ini akan hancur apabila digunakan sewenang-wenang secara terus menerus.[23]


Konsep Trias Politica
Trias Politica adalah konsep pemisah kekuasaan negara yang membagi menjadi tiga bentuk kekuaasan, kekuasaan itu adalah kekuasan eksekutif, legislatif dan kekuasaan yudikatif. Menurutnya ketiga bentuk kekuasaan ini haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakan. Kekuasaan eksekutif yaitu kekuasaan yang meliputi kegiatan melaksanakan undang-undang, menjaga keamanan negara, serta menetapkan keadaaan damai dan perang. Kekuasaan ini sebaiknya merupakan urusan raja karena mampu bertindak lebih baik daripada beberapa orang. Kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan membuat, membentu, memperbaiki, serta mengamandemen undang-undang. Sedangkan kekuasaan yudikatif yaitu kekuasaan yang menerapkan serta mempertahankan undang-undang, dan mengadili pelanggaran-pelanggaran yang terjadi terhadap undang-undang. Berbeda dengan Locke, Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif itu sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri.[24]
Menurut para ahli hukum dan politik kontemporer, trias politika tidak dapat dijalankan secara konsekuen kerena dua alasan utama, yaitu alasan praktik dan teoritik. Praktik pengorganisasian kekuasaan yang mutlak tidak pernah terjadi dan ditemukan di negara-negara manapun di dunia. Beberapa ahli menunjuk Amerika Serikat sebagai negara yang paling konsekuen melaksanakan doktrin itu. Namun pada kenyataannya di Amerika Serikat justru mengungkapkan betapa kekuasaan yang dijalankan oleh badan yudisial sudah dianggap memasuki kekuasaan eksekutif. Sedangkan secara teoritik, pemisah kekuasaan secara mutlak antara tiga kekuasaan politik tidak mengenal adanya konsep check and balances antara kekuasaan politik yang satu dengan yang lain. Maka, timbulah kecaman bahwa sesunggungnya Trias Politica mengadakan kesewenang-wenangan menurut atau di dalam lingkungan masing-masing cabang kekuasaan tersebut.[25]



BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari paparan diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Montesquieu merupakan tokoh asal Prancis yang pemikirannya hingga detik ini masih diaplikasikan di beberapa nagara. Keberhasilan penerapan pemikiran Montesquieu tersebut tidak dapat terlepas dari pengaruh latar belakang kehidupannya, dimana ia menaruh kebencian kepada despotisme dan sikap anti gereja.  mereka mempunyai pandangan yang optimis akan kemajuan manusia dan kemajuan pada ilmu pengetahuan. Pemikirannya tentang politik, hukum, sosiologi, dan lainnya ia tuangkan kedalam karya-karyanya. Dari sekian banyak karyanya, terdapat tiga karya Montesquieu yang sangat monumenal. Ketiga karya tersebut adalah Letters Persanes (1721), Considerations sur les causes de la grandeur des romains et de leur decadence (1734). Dan De L’Esprit des Lois (1748). Dari karya-karyanya itu, Montesquieu membagikan bentuk negara kedalam tiga bagian, yaitu republik, monarki, dan despotis. Yang masing-masing bentuk negara tersebut memiliki arti yang berbeda masing-masing.
Adapun sumbangan pemikiran Montesquieu yang masih sangat digunakan di berbagai negara sekarang ini adalah pemikirannya mengenai teori pembagian kekuasan. Montesquieu membaginya menjadi tiga. Teori ini dinamakan dengan Trias Politica. Ketiga kekuasaan ini adalah kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan terakhir kekuasaan yudikatif. Legislatif ialah kekuasan yang bertugas membuat undang-undang. Eksekutif ialah kekuasaan yang bertugas melaksanakan undang-undang dan yudikatif bertugas mengadili pelanggaran yang terjadi terhadap undang-undang. Inti pembagian kekuasaan ini adalah agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan dan terbentuknya kekuasaan mutlak yang sewenang-wenang. Maka oleh karnanya kekuasaan harus dipisahkan.



DAFTAR PUSTAKA
Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT. Gramedia, 2001.
KA Pramana, Pudja. Ilmu Negara. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.
Schmandt.J, Hendry. Filsafat Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Montesquie.  Membatasi Kekuassan Telaah Mengenai Jiwa Undang-Undang. Jakarta: Gramedia, 1993.
Gibbon, Edward. History of Decline and Fall of The Roman Empire. London: J.M.Dent and Sons, 1945.
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 2010.


[1] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat  (Jakarta: PT. Gramedia, 2001) h. 213-214.
[2] Pudja Pramana KA, Ilmu Negara ( yogyakarta: Graha Ilmu, 2009) h.162.
[3] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat  (Jakarta: PT. Gramedia, 2001) h. 213-214.
[4] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h.214
[5] Ibid, h.215.
[6] Hendry. J. Schmandt, Filsafat Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) h. 369-370.
[7] Ibid, h.370.
[8] Ibid, h.371.
[9] Ibid, h.372-373.
[10] Pudja Pramana KA, Ilmu Negara ( yogyakarta: Graha Ilmu, 2009) h.162.
[11] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h.221.
[12] Montesquieu, Membatasi Kekuasaan Telaah Mengenai Jiwa Undang-Undang, (Jakarta: Gramedia, 1993) hal.4.
[13] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h.222.
[14] Ibid, h.222-223.
[15] Pudja Pramana KA, Ilmu Negara, h.163.
[16] Edward Gibbon, History of Decline and Fall of The Roman Empire, (London: J.M.Dent and Sons, 1945).
[17] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h.218.
[18] Ibid, h.226.
[19] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h.232.
[20] Hendry. J. Schmandt, Filsafat Politik, h. 370.
[21] Ibid, h.371.
[22] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h.232-234.
[23] Ibid, h.235
[24] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2010) h. 283
[25] Pudja Pramana KA, Ilmu Negara, h.170.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar