BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Di era pencerahan ini banyak sekali
tatanan kehidupan yang tak terlepas dari pemikiran-pemikiran para pemikir era
pencerahan, dalam kehidupan berwarganegara misalnya. Terdapat macam-macam
bentuk negara yang ada di belahan dunia ini. Seperti republik, monarki, dan
despotis. Republik dapat berupa demokrasi atau aristokrasi, dikatakan demokrasi
apabila kedaulatan diserahkan kepada semua lembaga kerakyatan, sedangkan
aristokrasi apabila kekuasaan tertinggi hanya diserahkan kepada sebagian
anggota masyarakat. Monarki adalah pemerintah konstitusional oleh satu orang.
Despotisme adalah kekuasaan yang sewenang-wenang oleh satu orang.
Indonesia adalah negara yang menganut
bentuk republik, dalam pemerintahannya Indonesia menggunakan sistem demokrasi
untuk acuan dalam menjalankan pemerintahannya. Berbicara mengenai demokrasi
maka tak dapat dipisahkan dengan pembagian kekuasaan di dalamnya dan konstitusi
atau hukum dasar negara yang dibuat guna membatasi kekuasaan pemerintah agar
tidak berbuat sewenang-wenang. Pembagian kekuasaan ini terdiri atas tiga macam
kekuasaan: Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang;
kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang; ketiga,
kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.
Ketiga
pembagian kekuasaan itu dinamakan sebagai Trias
Politica. Seperti apa yang sudah digambarkan diatas, bahwa Trias Politica adalah suatu prinsip
normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan (functions)
ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa dengan harapan hak-hak asasi
warga negara lebih terjamin. Doktrin-doktrin ini dikemukakan oleh filsuf
prancis yang bernama Montesquieu. Maka dengan demikian, pemakalah ingin
menjelaskan dan lebih memperdalam mengenai pemikiran-pemikiran politik dan
hukum montesquieu yang berpengaruh dalam hidup ketatanegaraan sampai
seperti apa yang diterapkan di negara-negara belahan dunia sekarang ini.
1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah dan biografi Montesquieu?
2. Apa pemikiran-pemikiran politik dan hukum Montesquieu?
3. Apa saja isi karya-karya Montesquieu?
1.3
Tujuan
1. Mengetahui sejarah dan biografi lengkap Montesquieu
2. Mengetahui hasil dari pemikiran-pemikiran Montesquieu
3. Mengetahui karya-karya hasil Montesquieu
1.4
Manfaat Penulisan
1. Hasil
dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada semua pembaca
untuk menambah pengetahuan atau wawasan mengenai pemikiran politik Montesquieu,
terutama mengenai teori pembagian kekuasaan. Sehingga nantinya akan dapat
mengetahui seberapa penting kontribusi pemikiran Montesquieu dalam sejarah
perpilitikan dunia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Montesquieu
Montesquieu
memiliki nama asli Charles Louis de Secondat Baron de Montesquieu. Ia lahir
pada tanggal 18 Januari 1689 di Chateau
de la Brede, sebelah selatan dari kota Bordeaux, Prancis. Ia dilahirkan
dari keluarga kaya kelas ningrat (petite
noblesse), ibunya wafat ketika ia masih berusia 7 tahun. Ayahnya meninggal
ketika ia berusia 24 tahun. Kemudian ia diasuh oleh pamanya, Jean Bastiste de
Secondat, seorang pastor yang kaya dan terhormat. Ia mendalami hukum dan pernah
menjadi praktisi hukum di pengadilan.[1]
Pendidikan
formal menengah ditempuh Montesquieu pada College of Juilly, Paris. Berkat
adanya fasilitas yang bagus dan kehidupan yang berkecukupan serta keseriusan
yang matang, akhirnya ia berhasil memasuki Akademi Prancis lalu ia melanjutkan
studi hukum pada Universitas Bordeaux. Seusai meraih derajat sarjana,
Montesquieu mengikuti ujian lisensi untuk menjalankan praktik hukum, dan
memulai merintis karir sebagai penasihat, pengacara dan kemudian ketua parlemen
Guyenne. Akan tetapi minatnya pada ilmu pengetahuan dan institusi politik
segera mengarahkan aktivitasnya untuk menulis. Ia meninggalkan profesi dan
jabatan sebelumnya karena dianggap membosankan. Tepat pada tahun 1716,
Montesquieu diterima menjadi anggota Academie
des Sciences di Bordeaux dan kemudian membuatnya makin rajin dalam menekuni
ilmu-ilmu secara otodidak.[2]
Montesquieu adalah
pemikir politik Prancis yang hidup pada Era Pencerahan. Ia dilahirkan sebagia
seorang pemikir yang seakan ditakdirkan Tuhan untuk membaca dan menulis
sepanjang hidupnya, karena sebagian hidupnya dihabiskan hanya untuk kegiatan
intelektual. Demikian banyaknya ia membaca sampai mengalami kebutaan di akhir
hidupnya. Montesquieu dikenal dalam literatur barat tidak hanya sebagai pemikir
dan filosof politik. Raymon Aron mengkategorikannya sebagai sosiolog mendahului
Auguste Comte yang memperoleh julukan ‘Bapak Sosiologi Modern’ (Father of Modern Sociology). Auguste
Comte juga menyebut Montesquieu sebagai pemuka golongan empiris di Eropa Barat.[3]
Kesukaan
Montesquieu adalah melakukan perjalanan dan kunjungan ke berbagai negara.
Mengembara merupakan obsesi sepanjang hidupnya. Ia pernah mengunjungi Jerman,
Austria, Italia, Switzerland, Belanda, Inggris serta Persia. Kunjungan ke
berbagai negara itu memiliki makna penting, tidak hanya bagi hidupnya melainkan
juga karya-karyanya di kemudian hari. Pengalaman-pengalamanya selama
mengunjungi negara-negara itu memberikan inspirasi, cerita, data, dan fakta
bagi tulisan-tulisannya. Pemikir ini juga mengagumi karya-karya pemikir Yunani
dan Romawi kuno seperti Polybus, Levy, Thucydides, Aristoteles maupun
Machiavelli. Pengaruh mereka terlefleksi dalam karya-karyanya. Ia mulai
mengarang sejak usia 30 tahun. Ketekunannya dalam menulis, Gaya penulisannya
yang cemerlang, pemikirannya yang imajinatif dan keberanian mengungkapkan
pernyataan-pernyataan hipotetis serta asumsi teoritis menjadikannya sebagai
seorang penulis yang andal.[4]
Di samping
kelebihan-kelebihannya, Montesquieu juga memiliki kelemahan-kelemahan. Seperti
apa yang dikemukakan oleh John Plamenatz. Ia dinilai kurang kritis. Data,
cerita atau fakta yang kurang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis tetap
diterima sebagai bahan penulisan karyanya tanpa menguji apakah data tersebut
fakta sesungguhnya, otentik ataukah
fiktif. Misalnya cerita-cerita Levy mengenai sejarah Romawi kuno, analisa
Chardin tentang persia kontemporer dan Halde mengenai kehidupan di Cina. Akhirnya,
Charles-Louis de Secondat Baron de la Brede et de Montesquieu wafat pada 10
februari 1755 di Paris, Prancis. [5]
B.
Pemikiran-Pemikiran Montesquieu
Montesquieu
lebih dikenal dengan pemikirannya tentang pemisah kekuasaan. Pemikirannya ini
tertuang dalam karyanya yang berjudul Spirit
of Law, karyanya ini menjadi inti dari pemikiran sosial dan politiknya
dalam membahas segala hal, mulai dari politik, hukum, dan ekonomi analisis
sampai gosip dan anekdot-anekdot murahan pada masa itu. Prinsip-prinsip yang mempunyai
signifikansi khusus pada perkembangan pemikiran politik sekarang ini muncul
dari karya Montesquieu, Spirit of Law. Prinsip
pertama mengacu pada peran lingkungan dan keadaan dalam membentuk hukum dalam
masyarakat; prinsip kedua pada hubungan antara norma dan relativitas dalam
hukum dan masyarakat; dan prinsip ketiga terletak pada doktrin pemisahan
kekuasaan sebagai upaya preventif menghadapi despotisme.
Pandangan
Montesquieu mengenai sebuah hukum seringkali disandingkan dengan lingkungan,
sejarah, geografi, dan iklim dimana orang-orang tinggal. Tidak ada aturan hukum
yang pasti dan tidak ada bentuk pemerintahan yang berlaku bagi semua
masyarakat. Rekonsiliasi antara otoritas publik dan hak pribadi, masalah pokok
dari filsafat politik bukanlah pemecahan yang bisa diterapkan secara universal.
Pemecahan ini harus dilakukan dengan cara yang berbeda dalam lingkungan budaya
yang berbeda; ia tergantung pada konfigurasi waktu, ruang, dan tradisi. Oleh
karenanya, bentuk pemerintahan yang paling tepat menurut pandangannya ialah
pemerintahan yang paling sesuai dengan karakter orang-orang yang untuk mereka
pemerintahan tersebut didirikan. Karena berbagai kekuatan alam seperti iklim
dan tanah memengaruhi perilaku manusia, hukum dan institusi sosial haruslah
“bersifat relatif dengan iklim masing-masing negara, dengan kualitas tanah,
dengan situasi dan keadaan sekitarnya, dengan status sosial orang-orang
pribumi, apakah sebagai suami, pemburu, atau pengembala binatang... dengan
agama penduduk, dengan pekerjaan mereka, kekayaan, jumlah, perdagangan,
kebiasaan dan adat istiadat.” Iklim yang dingin membantu tumbuhnya tindakan
yang giat, ketenangan, dan pemilikan diri, sementara iklim panas menimbulkan
kemalasan, hasrat, dan emosi.[6]
Dalam
klasifikasi pemerintah, Montesquieu membaginya ke dalam tiga bagian, yakni
republik, monarki, dan despotik. Republik dapat berupa demokrasi, ketika
kedaulatan diserahkan kepada semua lembaga kerakyatan, atau aristokrasi, ketika
kekuasaan tertinggi hanya diserahkan sebagian anggota masyarakat. Monarki
adalah pemerintah konstitusional oleh satu orang, sedangkan despotisme adalah
kekuasaan yang sewenaang-wenang oleh satu orang. Monarki juga memerlukan
keberadaan aristokrasi atau beberapa kekuasaan perantara yang berdiri diantara
penguasa dan rakyat dan bertindak sebagai penengah. Despotisme tidak mentolerir
intervensi semacam ini; pedang penguasa yang diacungkan menjadi aturan dan
pedomannya. Karena tidak dibatasi hukum, seorang tiran berkuasa menurut
kehendak dan nafsunya sendiri.[7]
Montesquieu
menyatakan bahwa tidak ada bentuk pemerintahan yang bisa dipahami tanpa
apresiasi yang benar terhadap prinsip-prinsipnya atau kekuatan pengggeraknya.
Jadi sebuah republik, apakah dijalankan oleh beberapa orang atau banyak orang,
tergantung pada civic virtue (nilai
kebajikan warga negara) dan spirit publik dari rakyat, kesediaan untuk
menundukan kepentingan diri sendiri demi kebaikan umum, jiwa patriotisme,
kejujuran, kesederhanaan, dan persamaan.[8]
Mengenai konsep
kebebasan, Montesquieu tetap mempertahankan pendekatan empiris. Motesquieu
tidak memulai perhatiannya dengan mengajukan konsep-konsep umum yang abstrak.
Menurutnya, kebebasan berakar dalam tanah. Maksud dari berakar dalam tanah ini
adalah bahwa kebebasan lebih mudah dipertahankan dengan dua prasyarat pokok,
yaitu keadaan geografis negara dan ketentraman yang timbul dari keamanan.
Prasyarat kedua menghendaki perundang-undangan menetapkan batas-batas kekuasaan
negara serta adanya jaminan hak-hak individu di dalam hukum. Montesquieu
mendefinisikan hukum sebagai rasio manusia yang mengatur semua penduduk bimi:
hukum politik dan sipil setiap bangsa seharusnya hanya merupakan kasus-kasus
partikular sebagai buah dari proses akal manusia dan harus disesuaikan dengan
orang-orang yang untuk merekalah hukum-hukum tersebut dikerangkakan. Hukum
memiliki perbedaan sesuai dengan tempat dan waktu hukum itu berlaku. Perbedaan
tempat dan masa ini menyebabkan adanya perbedaan kebiasaan dan adat istiadat.
Pengaruh iklim, alam lingkungan sekitar dan sebagainya juga menjadi penyebab
perbedaan hukum. Oleh karnanya, terdapat perbedaan hukum dan sifat-sifat
pemerintahan di tiap-tiap negara. Ia juga berpendapat bahwa keadailan merupakan
suatu pengertian yang telah ada terlebih dahulu sebelum adanya hukum positif. Oleh
sebab itu dalam suatu masyarakat, manusia harus menyesuaikan diri dengan
keadailan. Hukum posistif yang sesuai dengan keadailan itu adalah hukum yang
benar.[9]
C.
Karya-karya Montesquie
Semasa
hidupnya, Montesquieu banyak sekali menulis dan berkarya. Dari sekian banyak
karyanya, terdapat tiga karyanya yang lebih menonjol dan sangat monumental. Ketiga
karya tersebut adalah Lettres Persanes
(1721), Considerations surles causes de
la grandeur des Romains et de leur decadence (1734), dan De L’Esprit des Lois (1748).
a. Lettres Persanes
Lettres Persanes
(Surat-surat Persia) merupakan karya sastra yang mengungkap kabiasaan hidup,
tata pergaulan orang paris sehari-hari, serta situasi politik dan agama di
Prancis. Penyajiannya penuh ejekan dan sindiran, dilatarbelakangi kekhasan
Persia sebagai wakil dunia timur. Karya ini juga merupakan salah satu contoh
penting terpengaruhinya pengarang Prancis oleh gerakan Pencerahan yang luas itu
dan berkembang menjadi lebih radikal dari pada di Inggris. Karya ini juga merefleksikan pengalaman
Montesquieu ketika mengunjungi negara-negara tetangganya khususnya Persia.
Maksud penulisan karya ini adalah sebagai cermin diri, kritik dan semangat
untuk mengubah diri kepada rakyat dan penguasa Prancis di zamannya. Montesquieu
berani mengkritik kebijakan pemerintahan negara yang acapkali dipaksakan, untuk
sebaliknya mengunggulkan kebajikan yang timbul dari inisiatif diri manusia
sendiri. Kesemuanya itu tergambarkan dengan terjadinya kemerosotan ahklak
orang-orang Eropa.[10]
The Persian Letters
atau Lettres Persanes ini diterbitkan
anonim (tanpa nama pengarang) pada tahun 1721 di Amsterdam, Belanda. Dengan
tidak dicantumkannya nama penulis dalam karya ini bertujuan untuk menghindari
dari kemungkinan pembredelan atau bahkan ancaman hukuman keras dari kekuasaan
despotisme Prancis terkait dengan isi di dalamnya. Surat-surat Persia merefleksikan
kelanjutan semangat Abad Pencerahan yang memadukan rasionalisme Descartes,
empirisme Locke dan skeptisme Pierre
Bayle. Walaupun karya ini lebih cocok disebut karya satire atau novel yang
sepenuhnya fiktif belaka. Isinya tidaklah sesederhana seperti banyak terdapat
dalam karya sejenis. Surat-surat Persia ditulis Montesquieu berdasarkan
pengamatannya yang jeli terhadap kehidupan sosial sehari-hari rakyat, pemuka
agama dan penguasa negrinya. Karya ini juga berisikan pemikiran serius mengenai
politik , sosiologi, sejarah dan agama. Meskipun
yang lebih menonjol hanyalah kritikan-kritikan pedas saja.[11]
Dalam
Surat-surat orang Persia ini, Montesquieu menggunakan dua tokoh orang Persia
yang saling mengirim pesan sesamanya. Kedua tokoh tersebut ia namakan, Usbek
dan Rica. Melalui kedua tokoh inilah Montesquieu mengemukakan tujuan
dituliskannya karya ini. Usbek adalah nama suku dari Usbekistan yang dilukiskan
watak dan kepribadiannya oleh Montesquieu sebagai Muslim ortodoks yang taat
melaksanakan kegiatan ritual aneh seperti yang dilakukan oleh orang-orang
Kristen. Usbek cerdas dan memiliki motivasi kuat mencari pengalaman dan
pengetahuan di negeri asing.[12]
Tapi ia seorang despotik yang memiliki banyak harem (istri-istri simpanan) di
belakang rumahnya. Dengan harem-harem itulah ia memuaskan nafsu birahinya
selama hidup di Persia. Sedangkan Rica adalah sahabat Usbek yang dilukiskan
sebagai seorang periang, pandai membuat sketsa watak tokoh-tokoh tertentu,
berusia lebih muda dari Usbek, tidak memiliki harem, humoris serta sangat
menyukai suatu pengalaman yang baru.[13]
Montesquieu
dengan bebas dan leluasa mengkritik, menyindir, mencemooh tajam Raja dan Gereja
dengan berpura-pura seolah-olah pengunjung dari Persia itu yang dapat menulis
dan berpendapat demikian. Montesquie menyindir dan mengkritik Raja Prancis saat
itu, Louis XIV. Raja ini ia juluki sebagai ‘tukang sulap’ yang telah
menyebabkan terjadinya pembodohan rakyat, pembantaian massal dan
peristiwa-peristiwa berdarah lainnya. Dalam suratnya, Rica menulis bahwa kaisar
Prancis adalah seorang penguasa yang sangat congkak. Ia tidak memiliki tambang
emas seperti raja Spanyol, tetapi kekayaannya melebihi raja Spanyol.
Kekayaannya itu bersumber dari kecongkakannya kepada rakyatnya dengan cara
menjual gelar-gelar kebangsawanan dengan harga mahal atau menipu rakyatnya
dengan mengatakan bahwa satu keping uang sama nilainya dengan dua, atau
mengatakan bahwa secarik kertas sama dengan dua. Melalui watak Usbek, Montesquieu menentang
segala bentuk despotisme. Termasuk konsep despotisme yang tercerahkan. Ia
mengkritik despotisme jenis ini mengandung cacat teoritis. Bagi dirinya apa pun
bentuk despotisme, tetap akan selalu menindas rasionalitas dan kebebasan
berfikir dan menyebabkan terjadinya penindasan manusia yang membinasakan.[14]
b. Considerations surles causes de la grandeur des Romains et
de leur decadence
Karya ini
diterbitkan pertama kali pada tahun 1734 di Amsterdam, Belanda. Sebagaimana
karya-karya sebelumnya, karya ini terbit tanpa nama, yang kemudian direvisi
pada edisi 1748. Karya ini merupakan salah satu karya-karya pertama dari semua
usaha untuk memahami setiap jengkal sejarah romawi. Karya ini dianggap
mengandung sindirian pada rezim yang berkuasa serta otoritas gereja di Prancis,
karena memaparkan secara historis penyebab utama kemerosotan bangsa di masa
Romawi tak lain ialah pemimpin-pemimpin negara dan gereja. Atas karya ini, para
sarjana kontemporer menganggap Montesquieu sebagai pelopor aliran dan metode historis di Eropa. Sebagian karya ini menggunakan
kerangka historis, dimulai dengan asal mula Romawi dan diakhiri dengan
keruntuhannya. Keterangan yang terdapat pada judulnya mengindikasikan bahwa
Montesquieu kurang tertarik untuk memaparkan sejarah umum Romawi, atau bahkan
juga sejarah kejayaan dan keruntuhannya, tetapi lebih difokuskan pada
penjelasan tentang sebab-sebab dari kejayaan dan keruntuhan itu.[15]
The Considerations on the Causes of the Grandeur and
Decadence of the Romans ditulis
Montesquieu berdasarkan data dan sumber penulisan pada karya Levy, Polybius,
Thucydides dan dipengaruhi Machiavelli. Menurut Plamenatz, karya ini memiliki
cacat-cacat akademis, sehingga tak banyak populer dan dikagumi oleh banyak
orang, apalagi kaum cendikiawan. Dari sedikit cendikiawan yang mengagumi karya
Montesquieu ini adalah Edward Gibbon, penulis buku monumental Decline and Fall
of the Roman Empire.[16]
Jikalau Gibbon mefokuskan kajiannya pada kejatuhan Romawi, sedangkan
Montesquieu pada kebangkitan, kebesaran dan sekaligus kejatuhan imperium
Romawai. Ia menjelaskan bahwa hakikat Roma, ibu kota pemerintahan imperium
Romawi, menurutnya Roma bukanlah sebuah kota dalam pengertian modern sekarang,
melainkan sebagai sebuah tempat pertemuan umum. Di dalamnya orang-orang
berkumpul dan membicarakan berbagai persoalan sosial kemsyarakatan secara
bebas. Tidak begitu jelas siapa yang diperintah dan siapa yang memerintah.
Dengan demikian, Roma tidak dapat dijadikan sebagai sebuah model pemerintahan.
Kejayaan Romawi mengandung beberapa sebab diantaranya:
kebajikan masyarakatnya, sistem konsul, kebijakan senat, kekuasaan rakyat yang
terbatas, konsentrasi perang, kemenangan-kemenangan, pembagian harta rampasan,
pembagian tanah yang merata, censorship (pemeriksaan), pembagian kekuasaan
politik, dan dukungan senat terhadap militer dan terhadap politik luar negeri.
Sedangkan kemunduran Romawi antara lain disebabkan
oleh merosotnya kerjasama antara rakyat dan militer, kesenjangan ekonomi dan
kekuasaan, hilangnya identitas kewarganegaraan rakyat Romawi, yang kesemuanya
membuat Republik tidak mungkin dapat dipertahankan. Montesquieu juga
mencurahkan perhatiannya pada perkembangan paham atheisme, materialisme, dan
hedonisme yang menyebabkan hancurnya moral, agama, patriotisme dan kebajikan
masyarakat Romawi. Kehancuran moral itu seperti kekejaman, kebiadaban dan
kebrutalan para jendral militer atau kaisar telah membuat rakyatnya tertindas.[17]
c. De L’Esprit des Lois
De L’Espirit des Lois (Spirit of Law)
merupakan karya terbesar Montesquieu yang berisi ajaran mengenai sistem-sistem
pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip yang dikandungnya dan ajaran pemisahan
kekuasaan-kekuasaan negara. Menurutnya,
sistem-sistem pemerintahan dapat dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu
pemerintahan pemerintahan republik (baik demokrasi maupun aristokrasi),
pemerintahan monarkis, dan pemerintahan despotis. Karya terbesar Montesquieu
ini terdiri dari tiga puluh satu buku yang diterbitkan pertama kali di Geneva
pada tahun 1748. Dalam kata pengantar dan buku pertama, setidaknya Montesquieu memiliki
dua sasaran. Sasaran pertama untuk
memahami perbedaan hukum manusia dan hukum dalam kehidupan secara umum. Yang kedua, untuk memberi sumbangsih dasar
bagi terbentuknya pemerintahan yang bijaksana di setiap tempat. Buku ini
terbagi ke dalam enam bagian. Bagian pertama,
berisiskan tentang hukum pada umumnya dan bentuk-bentuk pemerintahan. Kedua, membahas mengenai pengaturan
militer, pajak dan sebagainya. Ketiga,
membahas alam atau iklim. Keempat,
membahas mengenai masalah perekonomian. Kelima,
membahas agama; dan keenam atau
bagian akhir, merupakan suplemen yang berisi uraian tentang hukum Romawi, hukum
Prancis dan Feodalisme.[18]
Seperti
apa yang sudah dipaparkan di atas, Montesquieu mengklasifikasikan bentuk-bentuk
negara ke dalam tiga bagian, pertama republik, republik merupakan bentuk negara
yang terbaik. Negara republik diperintah oleh rakyat banyak. Rakyat yang
memegang kedaulatan dan memberikan mandat serta legitimasi kepada orang-orang
yang dipercaya untuk memerintah negara. pemimpin-pemimpin negara merupakan
pilihan rakyat berdasarkan prinsip kebajikan. Maka pemimpin-pemimpin itu
mengakui kebebasan politik rakyat dan tunduk kepada konstitusi. Hukum berada di
atas siapa pun. Apabila rakyat tidak mampu mematuhi hukum undang-undang yang
pada dasarnya penjelmaan kebiasaan rakyat itu sendiri, maka lambat laun negara
akan mengalami kemunduran. Menurut Montesquieu hancurnya negara repubik
disebabkan oleh timbulnya semangat yang ekstrem dan juga karena kekeliruan
dalam memahami makna kebebasan. Kebebasan membuat orang tidak hormat lagi
kepada orang yang lebih tua, orang tua, suami.[19]
Republik dapat berupa demokrasi apabila kedaulatan diserahkan kepada semua
lembaga kerakyatan, atau dapat berupa aristokrasi apabila kekuasaan tertinggi
hanya diserahkan kepada sebagaian anggota masyarakat.[20]
Monarki
adalah bentuk pemerintahan yang konstitusional yang diperintah oleh satu orang
berdasararkan asal usul keturunan (misalnya raja, ratu, kaisar). Satu orang
pemimpin negara berkuasa berdasarkan prinsip honneur atau kehormatan. Dalam perkembangan suatu negara, dapat
terjadi pelimpahan wewenang dan tanggung jawab satu orang kepada orang-orang
tertentu berdasarkan prinsip tadi. Pemerintahan monarki ini kadang-kadang
dikenali sebagai pemerintahan aristokratik, yaitu dimana pemerintahan yang
dipegang oleh sekelompok orang yang berasal dari golongan aristokrasi dengan
berlandaskan undang-undang sebagai pedoman dalam menjalankan pemerintahan.
Monarki terletak pada faktor yang menimbulkan rasa hormat atau persaingan karena
perbedaan di antara hirarki sosial, masing-masing kelas ingin menjaga kedudukan
dan hak-hak istimewanya. Berdasarkan prinsip rasa hormat ini, negara monarki
menciptakan diskriminasi dan kesenjangan posisi di antara manusia. Jadi, tidak
semua manusia sama. Ada sebagian manusia lebih terhormat dari manusia lainnya.
Menurut prinsip ini, hal tersebut merupakan hal yang wajar atau bersifat
alamiah. Secara alamiah manusia memang berbeda.[21]
Kehancuran
negara monarki menurut Montesquieu, sama seperti negara republik, yaitu karena
rusaknya prinsip-prinsip kenegaraannya. Aristokrasi rusak apabila semua
bangsawan menjadi sewenang-wenang, hukum yang seharusnya mengatur mereka tidak
berfungsi karena (kekuasaan) mereka berada di atas hukum. Mengambil pelajaran
dari kejatuhan dinasti Tsiin dan Soui, Montesquieu mengatakan sebab kehancuran
monarki adalah karena para pengeran ingin mengatur diri mereka sendiri dari
segala sesuatu, dan mengatur sesuatu yang berada diluar kekuasaannya. Kerusakan
monarki juga terjadi akibat penguasa yang melakukan perubahan-perubahan tradisi
yang telah mapan dan para penguasa memiliki sifat egosentrisme yang kuat;
dengan mengarahkan segala sesuatu sepenuhnya kepada diri sendiri. Montesquieu
juga menggingatkan bahwa monarki akan dapat menjadi sebuah negara despotis,
meskipun penguasanya lebih dari satu orang, apabila penguasanya berkuasa mutlak
dan melakukan penyelewengan kekuasan. [22]
Negara
despotis adalah negara yang diperintah oleh seorang raja tanpa berlandaaskan
undang-undang atau aturan tertulis yang berkepastian. Hukum yang berlaku
disesuaikan dengan kehendak pribadi sang raja dan cenderung represif. Satu
orang pemimpin negara berkuasa berdasarkan prinsip ketakutan, ambisi kepicikan
ingin kaya tanpa usaha, suka akan pujian yang berlebihan. Pemerintahan
kediktatoran ini mengkonsepkan para bawahan tanpa kecuali berada dalam suasana
pengabdian pada raja, sedangkan rakyat diperlakuakan sebagai budak-budak tanpa
ada secuil hak. Negara ini memiliki ciri-ciri yang mirip dengan yang dimiliki
negar Leiviatahan, negara model Hobbes. Negara merupakan lembaga politik yang
ganas, menakutkan dan bisa bertindak menurut kehendaknya sendiri. Menurut
Montesquieu, agama menjadi faktor yang diperhitungkan oleh penguasa negara
despotis yang membuatnya harus berhati-hati bila melakukan tindakan yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Montesquieu menyebutkan penyebab
utama kehancuran negara despotis adalah ketidaksempurnaan hakikat maupun
prinsip despotis yang mendasarkan kekuasaannya pada satu orang dan kekuasaan
sewenang-wenang. Negara ini akan hancur apabila digunakan sewenang-wenang
secara terus menerus.[23]
Konsep Trias
Politica
Trias Politica adalah
konsep pemisah kekuasaan negara yang membagi menjadi tiga bentuk kekuaasan,
kekuasaan itu adalah kekuasan eksekutif, legislatif dan kekuasaan yudikatif. Menurutnya
ketiga bentuk kekuasaan ini haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai
tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakan.
Kekuasaan eksekutif yaitu kekuasaan yang meliputi kegiatan melaksanakan
undang-undang, menjaga keamanan negara, serta menetapkan keadaaan damai dan
perang. Kekuasaan ini sebaiknya merupakan urusan raja karena mampu bertindak
lebih baik daripada beberapa orang. Kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan membuat,
membentu, memperbaiki, serta mengamandemen undang-undang. Sedangkan kekuasaan
yudikatif yaitu kekuasaan yang menerapkan serta mempertahankan undang-undang,
dan mengadili pelanggaran-pelanggaran yang terjadi terhadap undang-undang.
Berbeda dengan Locke, Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif itu sebagai
kekuasaan yang berdiri sendiri.[24]
Menurut
para ahli hukum dan politik kontemporer, trias politika tidak dapat dijalankan
secara konsekuen kerena dua alasan utama, yaitu alasan praktik dan teoritik.
Praktik pengorganisasian kekuasaan yang mutlak tidak pernah terjadi dan
ditemukan di negara-negara manapun di dunia. Beberapa ahli menunjuk Amerika
Serikat sebagai negara yang paling konsekuen melaksanakan doktrin itu. Namun
pada kenyataannya di Amerika Serikat justru mengungkapkan betapa kekuasaan yang
dijalankan oleh badan yudisial sudah dianggap memasuki kekuasaan eksekutif.
Sedangkan secara teoritik, pemisah kekuasaan secara mutlak antara tiga
kekuasaan politik tidak mengenal adanya konsep check and balances antara
kekuasaan politik yang satu dengan yang lain. Maka, timbulah kecaman bahwa
sesunggungnya Trias Politica mengadakan kesewenang-wenangan menurut atau di
dalam lingkungan masing-masing cabang kekuasaan tersebut.[25]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari
paparan diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Montesquieu merupakan
tokoh asal Prancis yang pemikirannya hingga detik ini masih diaplikasikan di
beberapa nagara. Keberhasilan penerapan pemikiran Montesquieu tersebut tidak
dapat terlepas dari pengaruh latar belakang kehidupannya, dimana ia menaruh
kebencian kepada despotisme dan sikap anti gereja. mereka mempunyai pandangan yang optimis akan
kemajuan manusia dan kemajuan pada ilmu pengetahuan. Pemikirannya tentang
politik, hukum, sosiologi, dan lainnya ia tuangkan kedalam karya-karyanya. Dari
sekian banyak karyanya, terdapat tiga karya Montesquieu yang sangat monumenal.
Ketiga karya tersebut adalah Letters
Persanes (1721), Considerations sur
les causes de la grandeur des romains et de leur decadence (1734). Dan De L’Esprit des Lois (1748). Dari
karya-karyanya itu, Montesquieu membagikan bentuk negara kedalam tiga bagian,
yaitu republik, monarki, dan despotis. Yang masing-masing bentuk negara
tersebut memiliki arti yang berbeda masing-masing.
Adapun
sumbangan pemikiran Montesquieu yang masih sangat digunakan di berbagai negara
sekarang ini adalah pemikirannya mengenai teori pembagian kekuasan. Montesquieu
membaginya menjadi tiga. Teori ini dinamakan dengan Trias Politica. Ketiga kekuasaan ini adalah kekuasaan eksekutif,
kekuasaan legislatif, dan terakhir kekuasaan yudikatif. Legislatif ialah
kekuasan yang bertugas membuat undang-undang. Eksekutif ialah kekuasaan yang
bertugas melaksanakan undang-undang dan yudikatif bertugas mengadili
pelanggaran yang terjadi terhadap undang-undang. Inti pembagian kekuasaan ini
adalah agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan dan terbentuknya kekuasaan mutlak
yang sewenang-wenang. Maka oleh karnanya kekuasaan harus dipisahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Suhelmi, Ahmad. Pemikiran
Politik Barat. Jakarta: PT. Gramedia, 2001.
KA Pramana, Pudja. Ilmu
Negara. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009.
Schmandt.J, Hendry. Filsafat
Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Montesquie. Membatasi Kekuassan Telaah Mengenai Jiwa
Undang-Undang. Jakarta: Gramedia, 1993.
Gibbon, Edward. History
of Decline and Fall of The Roman Empire. London: J.M.Dent and Sons, 1945.
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar
Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 2010.
[1] Ahmad
Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: PT. Gramedia, 2001) h. 213-214.
[2] Pudja
Pramana KA, Ilmu Negara ( yogyakarta:
Graha Ilmu, 2009) h.162.
[3] Ahmad
Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: PT. Gramedia, 2001) h. 213-214.
[4] Ahmad
Suhelmi, Pemikiran Politik Barat,
h.214
[5] Ibid, h.215.
[6] Hendry.
J. Schmandt, Filsafat Politik
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) h. 369-370.
[7] Ibid, h.370.
[8] Ibid, h.371.
[9] Ibid, h.372-373.
[10] Pudja
Pramana KA, Ilmu Negara ( yogyakarta:
Graha Ilmu, 2009) h.162.
[11] Ahmad
Suhelmi, Pemikiran Politik Barat,
h.221.
[12]
Montesquieu, Membatasi Kekuasaan Telaah
Mengenai Jiwa Undang-Undang, (Jakarta: Gramedia, 1993) hal.4.
[13] Ahmad
Suhelmi, Pemikiran Politik Barat,
h.222.
[14] Ibid, h.222-223.
[15] Pudja
Pramana KA, Ilmu Negara, h.163.
[16] Edward
Gibbon, History of Decline and Fall of
The Roman Empire, (London: J.M.Dent and Sons, 1945).
[17] Ahmad
Suhelmi, Pemikiran Politik Barat,
h.218.
[18] Ibid, h.226.
[19] Ahmad
Suhelmi, Pemikiran Politik Barat,
h.232.
[20] Hendry.
J. Schmandt, Filsafat Politik, h.
370.
[21] Ibid, h.371.
[22] Ahmad
Suhelmi, Pemikiran Politik Barat,
h.232-234.
[23] Ibid, h.235
[24] Miriam
Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik,
(Jakarta: Gramedia, 2010) h. 283
[25] Pudja
Pramana KA, Ilmu Negara, h.170.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar